Home / Artikel / Verba Pastoris / Sahabat Seperjalanan

Sahabat Seperjalanan

Frase homo socius senantiasa melekat dalam diri manusia. Manusia pada dasarnya bergulat dalam kebersamaan. Manusia  hidup dalam komunitas dan tergantung satu dengan yang lainnya. Ungkapan lengkapnya “Homo Homini Socius est”, artinya manusia itu adalah teman bagi manusia. Teman itu menjadi sebuah kebutuhan dasar bagi setiap orang. Kitab Kejadian menggambarkan “2:18 TUHAN Allah berfirman:Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Ini menjadi penegasan betapa manusia itu tidak baik seorang diri saja, maka manusia harus ada penolong yang sepadan dalam kehidupan ini.

            Perjanjian Baru juga melukikan bagaimana Yesus mengajarkan para muridNya untuk berjalan berdua-dua. Markus  menuliskan “6:7 Ia memanggil kedua belas murid itu dan mengutus mereka berdua-dua. Ia memberi mereka kuasa atas roh-roh jahat (Lih. Luk 10:1)”. Yesus mempertegas bahwa manusia harus saling menopang dan membantu satu sama lain. Manusia tidak bisa terlepas dari sesamanya. Relasi manusia itu harus terwujud dalam suka dan duka. Hal ini juga dipertegas dalam setia janji sebuah perkawinan Katolik. Teman seperjalanan itu harus saling mengisi dan membuah bahagia. Kebahagiaan itu tampak bagaimana murid-murid yang diutus kembali setalah menjalankan tugasnya berdua-dua. Lukas menjelaskan,”10:17 Kemudian ketujuh puluh murid itu kembali dengan gembira dan berkata: “Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu.” Kegembiraan yang terungkap dalam diri para murid setelah menjalankan misi perutusan. Tugas bersama itu memberikan kegembiraan karena mereka mampu menjalankan tugasnya dengan baik, bahkan setan-setanpun takut kepadanya. Itu terjadi karena manusia membiarkan Allah berkarya dalam diri manusia dan mereka saling bantu membantu dalam perjalanan. Allah menjadi pusat kebersamaan mereka dalam perjalanan perutusan itu.

            Sisi lain, perjalanan bersama dpat juga menampilkan  situasi duka lara. Perjalanan duka lara dari dua murid ke Emaus dilukiskan dalam Injil Lukas “24:13 Pada hari itu juga dua orang dari murid-murid Yesus pergi ke sebuah kampung bernama Emaus, yang terletak kira-kira tujuh mil jauhnya dari Yerusalem, 24:14 dan mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi. 24:15 Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka”. Para murid ini berjalan dalam kedukaan, mereka ingin menghindari duka dan melarikan diri dari kenyataan akan peristiwa yang terjadi. Perjalanan duka dari dua murid ke Emaus itu adalah wujud bahwa manusia selalu membutuhkan satu sama lain. Mereka mengalami kebuntuhan yang membuatnya tidak mengerti apa yang mestidilakukan. Perjalanan bersama itu lebih pada soal menghindari sebuah realitas yang susah diterima. Pada titik inilah, manusia sangat membutuhkan teman untuk mecari solusi demi kebaikan bersama. Mereka berdua saling menguatkan dalam perjalanan, sekalipun solusi belum didapatkan. Mereka hadir dan tidak meninggalkan satu sama lainnya, melainkan berjalan bersama. Suka dan duka  menjadi dua sisi yang selalu menghidupi perjalanan hidup manusia. Keduanya situasi itu akan silih berganti mewarnai perjalanan manusia sebagai homo homini socius ini.

Perjalanan manusia sebagai homo homini socius bisa berubah  homo homini lupus. Maksudnya, manusia menempatkan teman perjalanan sebagai cara mendapatkan keutungan pribadi. Orang lain menjadi lahan yang harus dimanfaatkan demi tujuan pribadi. Sehingga teman seperjalanan sering kali dijadikan saran keuntungan. Pada titik ini, mereka tidak peduli teman seperjalanan itu menderita atau tidak sebab homo homini lupus ini seperti  srigala yang siap menerkam temannya sendiri manakala dia  lapar. Kelaparan harkat, martabat, harga diri, dan keirian lainnya menjadi pemicu sehingga  teman menjadi lawan tanpa sering kali orang mencurigai. Inilah risiko sebuah perjalanan yang didasarkan pada kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan teman perjalanan. Manusia kadang lebih kejam dari ciptaan lainya, kebaikan sering dibalas dengan kejahatan. Orientasi kemanusiaan menjadi luntur oleh tindakan brutal itu. Teman seperjalanan berubah menjadi sebuah malapetaka yang mengintip setiap langkahnya.

Kristianitas mengajarkan cara membangun teman seperjalanan. Yesus telah memberikan contoh bagaimana Ia memilih 12 rasul sebagai teman seperjalanan. Mereka terpilih dengan aneka rasa kebaganggan, bahkan mereka mereka rasa iri terhadap satu dengan lainnya terlihat bagaimana mereka rebutan kekuasaan. Ributnya Para Rasul mempertanyakan siapa yang terbesar diantara mereka (Mrk.9:34) adalah bentuk sebuah motivasi yang salah mengikuti Yesus. Para Rasul adalah teman seperjalanan, namun justru mereka saling berebut kekuasaan dari pada teman berbagai suka dan duka. Ini adalah kecenderungan manusia yang sering kali tidak disadari sehingga teman perjalanan menjadi pesaing yang harus ditiadakan. Melihat situasi ini Yesus mengajarkan agar mereka mampu mengendalikan diri dengan menampilkan seorang anak kecil. Hadirnya anak kecil itu menjadi sebuah kritik sosial bagi Para Rasul yang sibuk dengan urusan jabatan duniawi dari pada karya pelayanan. Yesus mengembalikan pada jalurnya agar orientasi manusia sebagai Homo Homini Socius itu kembali, yakni seperti anak kecil yang tidak pernah berebut kekuasaan, tetapi anak kecil itu selalu bermain dengan siapa saja tanpa ada sebuah usaha saling mengalahkan.

Homo Homini Socius menjadi sebuah gerakan yang senantiasa disadarkan terus menerus agar manusia semakin dewasa dalam intelektual, iman, dan emosi. Ketiga ini menjadi sebuah dasar membangun kematangan manusia sebagai teman bagi sesamanya. Keseimbangan itu dibangun melalui proses yang terus menerus. Harapannya, manusia mampu menyadari sekaligus menjalani bahwa orang lain adalah teman seperjalanan yang Tuhan tempatkan dalam hidup. Manusia harus menerima dan mengolah ketiga aspek itu sebagai sarana menjadikan diri sebagai homo homini socius. Kendala pasti akan dihadapi, namun hal itu bukan menjadi sebuah rintangan, melainkan menjadi sebuah cara Allah mendidik manusia agar semakin dewasa. Kedewasaan manusia dalam tiga sisi itu harus ditampilkan dalam sebuah kehidupan nyata, yakni manusia harus selalu menjadi teman sepadan bagi sesama. Artinya manusia tidak memanfaatkan sesama demi kepentingan sendiri, melainkan membuka ruang bersaudaraan untuk berkarya bersama di dunia. Itu bisa terjadi ketika kita mampu menanggalkan agenda pribadi. Manusia sebagai teman seperjalanan harus  mendahulukan kepentingan bersama demi kebaikan bersama pula. Inilah panggilan hidup manusia yang harus diterima dan dijalani dengan suka cita. Mari bergandengan tangan berjalan bersama membangun dunia menjadi baik karena Tuhan adalah baik. Menampilan kebaikan dalam kehidupan berarti menampilkan Tuhan sendiri. Itu bisa tercapai kala manusia menyadari bahwa teman itu adalah kehadiran Tuhan sendiri sehingga manusia harus menjadi teman perjalanannya. Tuhan hadir dalam perjalanan itu seperti hadir dalam perjalanan dua murid ke Emaus. Singakatnya teman perjalanan memampukan setiap orang hadir dalam suka dan duka. Teman seperjalanan tidak meninggalkan kala susah, namun selalu berusaha bersama untuk kembali pada suka cita, itulah essensi homo homini socius sejati, yakni manusia adalah teman bagi manusia.

RD Nikasius Jatmiko

http://kdkkb.id

Dokter Menjadi Sahabat Bagi Semua Orang

RD Nikasius Jatmiko Mazmur  38 38:12 Sahabat-sahabatku dan teman-temanku menyisih karena penyakitku, dan sanak saudaraku …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *