1 Korintus 13:13 Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.
Keutamaan teologal: iman, harapan dan kasih menjadi axis mundi (poros dunia) dalam tatanan kehidupan universal. Kesadaran manusia sebagai ciptaan harus menyadarkan ketiga hal sebagai patron hidup. Ketiga keutamaan itu berlaku terhadap semua orang beriman. Sebab, bagi umat beriman, segala ungkapan dan tindakan harus berorientasi pada unsur itu. Ketiganya menyatu serentak, tanpa dapat dipisahkan. Perbedaannya terletak pada rumusan iman tiap otoritas agama, sekaligus daya penafsiran yang beraneka ragam. Semua perbedaan itu tetap mengacu dalam tiga keutamaan manakala seseorang mengaku diri sebagai manusia beragama.
Iman bisa ditelisik dalam dua sisi, yakni fides quae creditur dan fides qua creditur. Fides quae creditur itu dipahami sebagai pernyataan iman. Artinya setiap agama meyakini imannya masing-masing sesuai doktrin yang otoritas agama ajarkan. Keyakinan satu dengan yang lain mempunyai perbedaan yang sangat mendasar sesuai dengan ajaran iman mereka. Setiap orang biasa mempelajari iman, namun mereka tidak serta merta bisa meyakini itu. Ketika manusia menekankan pemahaman iman ini hanya ada pada sisi pengetahuan, itu akan menemukan keterbatasan. Iman itu melebihi apa yang dimengerti manusia secara akal, maka tataran ini hanya bisa diyakini, tanpa harus menggugat kenapa iman sering kali menjadi tidak masuk akal. Iman bukan persoalan ratio semata, melainkan relasi batin yang mendalam dengan apa yang orang yakini. Keyakinan iman ini akan terbentur manakala orang menggali keyakinan pada sisi akal budi semata. Oleh karena itu, wilayah fides quae itu bisa dipahami secara praksis saat iman itu diungkapkan. Ungkapan iman itu dipahami sebagai fides qua creditur, seturut Yakobus 2:20, iman tanpa perbuatan pada hakikatnya mati. Singkatnya keyakinan itu sebuah nilai yang hanya dipahami secara gamblang dengan sebuah tindakan nyata sehari-hari.
Orang beriman tidak bisa melepaskan diri dari sebuah harapan. Peristiwa suka dan duka adalah rangkaian peziarahan manusia dalam kerangka harapan. Manusia sering berpaling dari Allah ketika terjerat derita dan duka. Penderitaan sering dipahami secara salah bahwa Allah menghukum manusia. Padahal penderitaan itu adalah sebuah proses manusia menjadi dewasa, sekaligus ruang di mana pengharapan dapat terbuka. Ibarat seorang anak menanggalkan gigi, mereka akan merasakan kesakitan. Sepintas sakit itu adalah derita, padahal itu merupakan proses yang harus dialami sebab kesakitan itu menumbuhkan sebuah pembaharuan, itulah pengharapan. Dalam skala lebih luas manusia mengalami penderitaan, bahkan melebihi kapasitasnya. Namun demikian, penderitaan bukan sebuah hukuman, justru peristiwa itu harus dipandang sebagai harapan. Di balik derita ada sebuah kebahagiaan yang akan digapai. Dibalik tanggalnya gigi susu akan muncul gigi yang kuat. Ini berarti manusia menyadari bahwa derita bukan sebuah kutuk, melainkan berkah yang senantiasa hadir dalam diri manusia. Semua itu bisa diterima dalam landasan iman, bahwa Kristus sendiri telah menderita sebelum manusia mengalami derita. Penderitaan Kristus membuka harapan kehidupan, derita kita membuka harapan kebaikan.
Puncak dari keutamaan teologal itu didasarkan pada cinta kasih. Paus Benediktus menegaskan “Deus Caritas est”. Santo Matius menegaskan dalam Injil Matius 18:20 “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” Cinta itu terwujud dalam sebuah komunitas yang terikat dalam nama Allah sang Cinta. Cinta inilah menjadi simbol seluruh kehidupan manusia. Maka Santo Paulus menyebutnya sebagai entitas terbesar dari ketiga keutamaan teologal itu. Cinta menjadi sebuah animator yang mengembangkan iman dan harapan. Ungkapan Benedictus XVI yang menyatakan Deus Caritas Est itu menggambarkan bahwa rotasi kehidupan itu adalah berporos pada Allah sendiri, yakni Cinta. Tindakan kemanusiaan pasti didasarkan pada cinta sekalipun orang menolak entitas iman. Namun Kristianitas melihat bahwa tindakan cinta tanpa iman, terasa hambar. Cinta menjadi motor utama menggerakkan iman dan harapan, yang ketiganya saling terkait. Singkatnya ketiga keutamaan teologal itu harus selalu dibangun dalam kehidupan bersama. Perbedaan bukan berarti meniadakan, perbedaan itu saling melangkapi dan semakin menghadirkan Allah sendiri. Semua itu karena cinta, yakni Allah sendiri sang sumber cinta, Deus Caritas Est.
RD Nikasius Jatmiko
