Waty S. Halim., drg., SpKGA
Melalui hari-hari di masa Pandemi bagi saya serasa bermimpi panjang. Sebuah mimpi yang dimulai suatu hari di bulan Maret setahun lalu. Sebuah mimpi yang diawali dengan rangkaian temuan kasus-kasus penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus yang mempunyai nama amat manis namun menyusahkan nyaris seluruh dunia.
Mengapa?
Virus bernama Corona ini ternyata beredar secara luar biasa cepat dan menyebarkan “bunga” pertamanya: kegentaran. Bukan hanya di hati saya, tetapi juga di hati banyak orang. Ketika mendengar pengumuman pemberlakuan PSBB selama 14 hari di kota Bandung – tempat saya tinggal dan bertugas – saya meresponnya dengan mematuhinya. Setiap hari dengan mematuhi protokol kesehatan, saya berangkat ke tempat tugas dan pulang ke rumah dengan hati gentar namun penuh harapan.
Seperti halnya harapan-harapan yang muncul di hati banyak orang, di lubuk hati saya pun tersimpan harapan yang sama, seperti “semoga semua berlalu” dan “kita semua akan baik-baik saja”. Saya pribadi sempat mengira hidup akan kembali “normal”. Setelah lewat dua minggu akan hadir hari-hari berikutnya dengan rangkaian anti klimaks dan berakhir dengan luapan sukacita setelah melalui masa Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Rupanya kenyataan yang terjadi tidak sesuai harapan.
Dua minggu berlalu. Ada begitu banyak berita yang membuat nyali menciut. Setiap hari ada berita tentang keganasan penyakit yang ditimbulkan oleh Virus Corona ini. Korban-korban berjatuhan. Dan yang membuat saya makin gentar adalah ketika orang-orang yang saya kenal mulai terkena penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus ini. Ada kenalan yang terinfeksi namun tanpa gejala. Ada juga yang terinfeksi dan sakit parah. Bahkan ada yang sampai terenggut kehidupannya.
Meski saya tidak melayani pasien Covid, namun profesi saya sebagai dokter gigi termasuk dalam profesi yang berisiko tinggi. Tindakan dalam pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang saya lakukan menghasilkan aerosol (Aerosol Generating Prosedure). Dan ini dianggap dapat meningkatkan resiko penyebaran virus Corona.
Dalam kegentaran hati saya hanya mampu berusaha untuk disiplin menjaga protokol kesehatan. Saya baru berani membuka masker, minum dan makan siang ketika saya sudah berada di dalam kendaraan saya usai jam tugas. Untuk mengurangi resiko penyebaran virus, saya mandi dan bertukar pakaian di rumah sakit sebelum pulang ke rumah. Setibanya di rumah saya segera mandi dan bertukar pakaian kembali.
Menjalani hari-hari dalam kegentaran hati, saya mencoba menimba kekuatan dengan doa dan meditasi. Salah satu doa saya tulis dalam sebuah puisi yang kemudian hari menjelma inspirasi lagu “Jadikan Kami Alat-Mu”. Lagu yang selalu saya nyanyikan dalam perjalanan berangkat dan pulang tugas. Lagu yang meneguhkan saya. Lagu yang –berkat pertolongan Tuhan melalui dukungan dan kebaikan hati para sahabat dari berbagai kalangan- boleh terwujud untuk dipersembahkan melalui saluran Youtube (https://youtu.be/aveaDS_wEAU)
Tak terasa bulan demi bulan berganti. Bahkan kini genap setahun lamanya. Pandemi belum berlalu. Sementara dunia masih harus berjuang untuk dapat mengatasinya. Dan saya termasuk di dalamnya.
Ternyata dalam perjuangan di masa Pandemi, saya belajar hal-hal baru. saya yang sebenarnya gagap teknologi kini menjadi belajar menggunakan aplikasi yang dulu belum
Ya, Pandemi telah mengajak saya melewati sebagian dari masa yang sarat dengan pengalaman berharga. Ada pengalaman sukacita dan pembaharuan “hidup”. Betapa saya amat bersyukur atas pengalaman langsung maupun tak langsung yang dirasakan secara pribadi mau pun dalam keberadaan di tengah keluarga, masyarakat, dan komunitas. Nyata pengalaman kasih Allah dan sesama dalam rupa dukungan, perhatian, persahabatan, persaudaraan.
Rasanya hati saya meleleh ketika menerima dukungan berupa kiriman puding kembang tahu dari tetangga, kejutan ulang tahun dari keluarga dan tetangga, paket asesoris APD dari teman komunitas menulis yang belum pernah bertatap muka, donasi APD dari para dermawan, sapaan dan dukungan doa dari para orang tua pasien serta teman-teman dan saudara, kejutan karya-karya lukisan para pasien anak, dukungan untuk inspirasi karya –lagu dan tulisan- yang lahir di masa Pandemi, dan masih banyak hal yang terlalu panjang bila ditulis satu persatu. Ah, ini rupanya cara Allah meneguhkan hati dan membarakan semangat hidup baru bagi hamba-Nya yang sedang gentar agar tidak menyerah.
Ada rasa syukur yang mendalam ketika hari ini saya menekan tombol keyboard komputer yang setia menemani saya dalam suka dan duka. Syukur karena masih dianugerahi kesehatan dan napas kehidupan baru hari demi hari. Syukur atas semua pengalaman yang telah membentuk saya hingga hari ini.
Perjalanan setahun bersama Pandemi virus Corona telah turut membentuk saya menjadi diri saya hari ini. Sambil menantikan saat anti klimaks Pandemi tiba dan berakhir dengan kemenangan seluruh dunia, saya tidak boleh menyerah. Saya berjanji akan terus setia menjalankan tugas pelayanan saya sebagai tenaga kesehatan dengan tetap semangat untuk ambil bagian dalam perjuangan melawan penyebaran virus ini.
Kini saya tidak gentar lagi untuk berangkat ke tempat tugas. Saya sudah terbiasa dengan “suasana” Pandemi dan risiko menunaikan rangkaian tugas-tugas sebagai pelayan kesehatan di masa Pandemi. Berbagai “bunga” pengalaman terjadi dalam kurun masa yang memprihatinkan ini. Bukan pengalaman kegentaran saja, namun juga pengalaman yang membawa perubahan dan kesadaran untuk disiplin, belajar hal baru, inspirasi karya, harapan serta semangat hidup yang baru.
Mungkin sahabat pembaca pun memiliki rangkaian pengalaman tersendiri dalam masa setahun Pandemi ini. Berangkat dari pengalaman di masa Pandemi ini, mari tetap melangkah melintasi masa Pandemi ini. Mari bersatu hati memperjuangkan kemenangan melawan penyebaran virus Corona. Harapan dalam doa saya hanya satu, semoga kita semua dapat memenangkan perjuangan ini. Semoga kita semua selamat dapat melalui masa Pandemi yang disebabkan oleh virus bernama manis Corona yang telah mengajarkan kita banyak hal melalui “bunga-bunga” Pandemi yang ditabur-tebarkannya.
Catatan: Sebagai tanda kasih bagi para pembaca, saya persembahkan puisi yang menjadi lagu dan doa saya. Semoga menjadi berkat bagi semua. Amin.
JADIKAN KAMI ALAT-MU
Di kala diri tak lagi jadi utama
Namun ada setitik asa yang masih menyala
Pemantik semangat gelora jiwa
Berjuang lawan lara serta mara
Di depan pintu-Mu kami datang mengetuk
Berseru mengeja doa dan segala usaha
Persembahkan hati seorang hamba
Junjung tugas yang t’lah diamanatkan
Jadikan kami alat-Mu semata
Mengalirkan rahmat-Mu bagi sesama
Yang Kau percayakan kepada kami para sahaya
Mengawal harapan dan kehidupan
(https://youtu.be/aveaDS_wEAU)