Dalam Alkitab Ulangan 31 : 8, Firman Tuhan berbunyi “ Sebab Tuhan, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati”. Dan Matius 6 : 26 yang berbunyi “ Pandanglah burung – burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung- burung itu?”.
Kedua ayat tersebut mengingatkan saya akan dua kisah perjalanan dalam hidup saya saat menjalankan PTT di sebuah daerah kepulauan yang terpencil di bagian barat Indonesia. Saat itu kebetulan baru saja terjadi tsunami Aceh. Orangtua saya jelas melarang saya untuk pergi karena daerah yang akan saya datangi itu juga merupakan daerah rawan gempa dan tsunami. Meskipun demikian sebagai lulusan dokter baru saya sangat bersemangat untuk mengabdi, sehingga saya nekad untuk tetap pergi.
Bisa dibayangkan seorang gadis yang sejak lahir sudah terbiasa di kehidupan kota yang serba mudah dan tidak jauh dari orangtua harus berangkat seorang diri ke daerah yang terisolir dengan sumber daya yang sangat terbatas dan sederhana. Tentu banyak suka dan dukanya: mulai dari kendala bahasa, keharusan beradaptasi, hingga pengalaman – pengalaman yang cukup menantang dan menegangkan. Salah satu pengalaman yang tak terlupakan adalah ketika perahu puskesmas keliling yang saya tumpangi hampir tenggelam diterjang ombak, sehingga kami harus membuang perbekalan agar wadah bekal bisa digunakan untuk membuang air dalam perahu. Sambil mengeruk air keluar dari perahu, saya hanya bisa berdoa dan teringat kisah pada saat murid – murid Yesus yang ketakutan akan angin ribut dan kemudian dihardik oleh Tuhan Yesus hingga angin tersebut tenang, dan saya berharap saat itu Tuhan melakukan hal yang sama.
Singkat cerita akhirnya kami selamat dan dapat menepi ke pantai, menunggu datangnya pertolongan dari penduduk setempat yang mungkin lewat untuk menangkap ikan. Pada saat itu sampai terpikir oleh saya: “Sekolah tinggi – tinggi akhirnya terdampar di sini”. Miris memang saat itu, tapi kini hal – hal tersebut merupakan suatu cerita yang indah untuk dikenang.
Dari sekian banyak suka dan duka yang saya lalui pada saat menjalani 2 tahun PTT di sana, ada kejadian yang paling berkesan bagi saya yang saya ingat sampai saat ini, kejadian di mana saat itu cuaca badai tak kunjung reda hingga kapal – kapal besar yang biasa membawa bahan pokok dan seluruh kebutuhan masyarakat pun tidak dapat menyeberang lautan untuk menuju ke tempat kami. Cuaca tersebut bertahan kurang lebih satu minggu, hingga akhirnya stok kebutuhan hidup saya pun habis, bahkan saya lihat dalam dompet saya hanya tinggal seribu rupiah. Bisa dibayangkan di daerah terpencil yang listrik pun terbatas mana mungkin ada ATM untuk mengambil uang dari tabungan, dan jikapun pada saat itu ada uang, barang apa yang bisa saya beli di pasar?
Menghadapi situasi tersebut, dalam hati saya hanya berkata “ Ya Tuhan uang saya hanya tinggal segini”. Ketika saya mengucapkan keluhan tersebut, tiba-tiba dalam hitungan detik terdengar ketukan di pintu rumah dinas. Pada saat saya buka pintu ternyata ada beberapa keluarga yang datang dari pelosok pulau untuk berobat. Setelah saya layani mereka, ternyata mereka membayar saya dengan beras, ayam, pisang, dan hasil bumi lainnya yang sangat cukup untuk kebutuhan hidup saya beberapa hari ke depan. Tidak ada kata lain yang saya dapat ucapkan selain terima kasih dan rasa syukur saya yang tak terkira kepada Tuhan pada saat itu.
Dari 2 pengalaman hidup saya tersebut, menyadarkan saya bahwa Tuhan Yesus selalu ada di dekat kita, di manapun kita berada, bahkan di tempat seterpencil apapun Dia tetap ada menemani kita mengarungi badai dan samudera kehidupan. Dia memelihara kita, memberi apa yang kita butuhkan, dan pertolongan-NYA datang tidak pernah terlambat.
Yane Lis Cintawati
Universitas Katolik Parahyangan