Home / Artikel / Ruang Publik / SETAHUN SERIBU KOMUNITAS

SETAHUN SERIBU KOMUNITAS

Eka Budianta*

Berkah terbesar selama pandemi Covid 19 bagi saya adalah pergaulan virtual yang sangat meluas. Pada awal munculnya Whatsapp Group (WAG) nama saya dimasukkan dalam 18 kelompok.  Saya pikir hal itu juga dialami oleh banyak teman di seluruh Indonesia. Kami menikmati pergaulan antar alumni dan komunikasi persaudaraan berbasis hobi, hubungan famili, minat yang sama dan interes diskusi.

Saya pikir 18 WAG itu sudah banyak, tetapi pada saat pandemi, jumlahnya terus meningkat menjadi 87 WAG bahkan pernah lebih dari 100 komunitas.  Untung ada beberapa kelompok yang bersifar temporer.  Misalnya WAG Gambang Semarang –  yang dibentuk untuk menulis dan menerbitkan buku kenangan tentang kota itu. Kebetulan memang banyak “program menulis dari rumah” ditawarkan.  Termasuk menulis pengalaman bekerja untuk Radio BBC yang terbit dalam buku London Calling.

 Selama setahun menjalani wabah – saya ikut mengisi 40-an buku antologi. Di antaranya adalah buku Kemanusiaan di Masa Corona  yang mendapat piagam MURI – Museum Rekor Dunia Indonesia untuk kumpulan tulisan multi disiplin terbanyak, dan Saatnya Menjadi Bangsa Yang Tangguh program Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang saya sunting.  Buku-buku lain termasuk peringatan Seratus Tahun Taman Siswa, kumpulan puisi arkeologi, ulangtahun Jakarta, beberapa kumpulan pentigraf (cerpen 3 paragraf) dan serial literasi mandiri Komunitas Negeri Poci.

Manfaat Komunitas

Mungkin karena  tidak boleh bepergian, kita jadi rajin memanfaatkan jasa pengiriman paket.  Saya ingat pernah dalam satu bulan (Desember 2020) menghabiskan ongkos kirim sekitar dua juta rupiah. Maklum – waktu itu saya ikut menyunting buku Kristal-Kristal Diha, untuk menghormati penyair Diah Hadaning yang berulang-tahun ke 80.  Padahal biasanya belanja pengiriman hanya berkisar Rp 300, 000,- dan kebanyakan untuk membalas, ungkapan terima kasih.

Selama setahun memang banyak kiriman unik saya terima dari daerah.  Yang terbanyak tentu buku dari teman-teman di Yogya, Malang, Sidoarjo, Banjarbaru (Kalimantan Selatan) dan Tangerang.  Tetapi ada juga ibu-ibu yang mengirimi kue-kue berbahan sorgum dari Flores Timur, kulit pisang dari Jawa Timur, keripik gayam dari Madura, bahkan sangrai biji trembesi dari Jawa Tengah. Semua koneksi itu saya peroleh melalui berbagai komunitas virtual.

Tentu, cukup banyak piagam dan kaus peserta berbagai webinar, teristimewa dua kali dari Kupang, Nusa Tenggara Timur!  Beberapa zoominar dan webinar mengirimkan honorarium cukup besar.  Misalnya diskusi bulanan Budaya Panji yang diadakan Asosiasi Budaya Lisan Jawa Timur, dengan sponsornya Prof. Wardiman Djojonegoro, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan.  Juga beberapa kali peluncuran buku Komunitas Kosa Kata Kita yang getol mengkampanyekan literasi.

Terima kasih banyak, sudah diikutkan dalam bermacam komunitas.  Ada grup klinik bahasa, pencinta lingkungan, pemerhati pusaka, penggemar media, kelas filsafat, ada juga Poetry Writing Society yang diikuti oleh para cendekiawan peminat puisi.  Entah mengapa, nama saya juga tercantum dalam WAG Ngamumule – yang murni berlangsung dalam bahasa Sunda, dan Forum Anak Medan, meskipun sama sekali tidak ada hubungan darah apalagi punya keluarga di sana. Favorit saya adalah Komunitas Beautiful Birds dan Taoism Study, dalam bahasa Inggris.

Pertanyaannya tentu pelajaran apa yang terpenting dari bermacam komunitas itu? Pertama, adalah kekompakan menyumbang bila terjadi musibah.  Beberapa WAG yang saya ikuti sangat aktif mengumpulkan uang duka bila ada anggotanya yang meninggal.  WAG KBA – Keluarga Besar Aqua boleh dicatat paling gencar menyumbang keluarga yang kehilangan anggotanya selama pandemi. Tersedianya dana abadi memang sangat penting bagi komunitas yang bersifat permanen dan ingin berkelanjutan.

Itulah pelajaran kedua! Contoh terbaik yang saya ikuti, adalah Komunitas Satupena – asosiasi penulis Indonesia yang mematok anggaran seputar Rp500juta dalam satu tahun.  Sukses komunitas yang terbentuk melalui WAG dan Facebook memang mudah diukur melalui dana yang berhasil dikumpulkan. Itulah yang ingin saya pesankan pada teman-teman yang giat menggalang persahabatan dan persaudaraan.

Hikmah ketiga yang tidak kurang pentingnya adalah hasrat mengabadikan kehidupan.  Komunitas berbasis WAG sangat berjasa bila berhasil mencatat kehidupan warganya. Contoh yang saya ikuti adalah ketika Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG) menyusun buku obituari untuk Markus Marlon MSC, seorang pastor yang wafat dalam tugas di pelosok Kalimantan Timur.    Mereka berhasil membuat buku kenangan, bahwa ada aktifis yang meninggal di tengah pandemi – meskipun bukan karena Virus Corona, dan tidak boleh dilupakan.

Kita mendengar dan menyaksikan cukup banyak dokter, wartawan, penyair bahkan guru yang menjadi korban wabah selama setahun ini.  Bila teman-temannya mampu menulis dan membagi kenangan pada yang terpaksa menghadap Tuhan di masa pandemi, saya pikir baik sekali.

Itu sebabnya perlu dicatat cukup banyak kegiatan komunitas dalam mengenang teman-teman yang berguguran.  Kita bisa ikut ibadah pemakamannya secara daring.  Misalnya ketika Umbu Landu Paranggi yang terkena Covid 19 dan dimakamkan sementara di Pulau Bali, sebelum dibawa ke Sumba, pulau kelahirannya.  Juga serial peringatan wafatnya sastrawan Sapardi Djoko Damono, Radhar Panca Dahana, serta intelektual Daniel Dhakidae

Semua berjalan dengan penuh perhatian berkat adanya bermacam komunitas.  Saya menangis ketika menyaksikan video sahabat saya, Peter A. Rohi – wartawan dari Pulau Timor, dimakamkan dengan mesin keruk tanah yang disebut bego.  Peristiwa yang diliput dari jauh itu dilakukan dengan mematuhi protokol kesehatan.   Sungguh tidak terbayang bagaimana sedihnya ditinggal pergi oleh orang-orang yang kita cintai.  Dalam kasus saya adalah kepergian Ibu Angkat saya Syarifa dan keponakan saya Abraham Novan.

Mereka pergi  di tengah pandemi, yang pemakamannya sukar dihadiri.  Tetapi berkat adanya komunitas, kita bisa bersama-sama menanggung kesedihan. Itulah manfaat untuk tetap teguh dan ikut terlibat, bahkan bila ada seribu komunitas. Kunci yang selalu harus dipegang adalah kesanggupan memberi dan melayani.  Termasuk kalau kita hanya mampu berbagi doa, ucapan empati,  koran dan majalah, buku, video dan bacaan gratis setiap hari.  

*Tamu kita bulan ini:

Christophorus Apolinaris Eka Budianta atau lebih dikenal dengan sebutan Eka Budianta adalah sastrawan, jurnalis, penulis biografi dan budayawan Indonesia yang aktif dalam berbagai lembaga swadaya masyarakat. Beliau dikenal dari karya-karyanya berupa puisi, esai, cerpen, maupun berbagai buku.

Biodata beliau dapat diakses pada URL: https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/499

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *