Home / Artikel / Ilmiah / Do Not Resuscitate: Keputusan yang Dilematis

Do Not Resuscitate: Keputusan yang Dilematis

NN

Kematian merupakan bagian dari kehidupan, sebab menurut kodratnya kehidupan adalah terbatas. Kematian merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari. Pelayanan kesehatan tidak saja harus memperhatikan kualitas kehidupan (Quality of life), melainkan juga kualitas kematian (Quality of death).

Meninggal dunia dengan baik (bukan euthanasia) juga mengandung nilai manusiawi yang tidak kalah pentingnya. Pelayanan kesehatan bukan saja bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan dan memulihkan kesehatan sampai habis-habisan melainkan juga memungkinkan manusia meninggal dengan tenang (a peaceful death), yakni kematian yang diterima oleh pasen, kematian yang diiringi oleh keluarga serta orang tercinta lainnya.

Bagi para pelayan kesehatan, melayani kehidupan berarti memberi pelayanan sampai kehidupan itu selesai secara alamiah. Namun dalam praktiknya, berhentinya kehidupan secara alamiah itu menjadi sesuatu yang sangat multi dimensi. Tergantung pada ketersediaan alat-alat pertolongan untuk resusitasi, baik tahap dasar maupun lanjut.

Kita mengenal Resusitasi Jantung Paru (RJP) sebagai suatu tindakan memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasen yang mengalami henti nafas dan atau henti jantung. Permasalahan baru akan timbul jika jantung pasen yang besangkutan kembali berdenyut, namun pasen tidak dapat bernapas spontan dan kemajuan teknologi kedokteran memungkinkan pasen tersebut diberi bantuan napas penuh dengan ventilator. Hal ini bahkan dapat berlangsung berbulan-bulan. Sampai kapankah pasen tersebut harus dipertahankan pada kondisi demikian? Maka timbullah isu Do Not Resusitate (DNR).

Do Not Resusitate (DNR) adalah perintah untuk tidak melakukan upaya penyelamatan pasien berupa resusitasi jantung paru selanjutnya. Keputusan DNR merupakan kondisi yang penuh dengan pro dan kontra sehingga perlu pengkajian dari sisi bioetika , medikolegal dan agama secara hati-hati untuk setiap kasusnya.

Keadaan pro dan kontra jelas sekali pada perbedaan pandangan di beberapa negara. Cina dan Korea Selatan melarang DNR. Secara bioetika dan keagamaan DNR tidak dapat dibenarkan. Agama tidak memberi kuasa pada manusia untuk menentukan hidup dan mati seseorang.

Namun terdapat beberapa pandangan yang pro atas keputusan DNR, diantaranya ada pendapat yang menyatakan bahwa RJP tidak diindikasikan pada pasen dengan kondisi terminal, penyakit yang ireversibel, penyakit yang prognosisnya hampir dapat dipastikan misalnya perdarahan otak yang sudah menekan ke batang otak/ perdarahan batang Otak.

Sebagian lainnya berpendapat DNR dapat merupakan bagian dari keputusan medis pada kondisi yang  tidak meragukan bahwa RJP tidak akan berhasil dan tidak perlu dimulai karena perawatan, pengobatan yang dianggap sia-sia (futile treatment). 

Kajian Etika

Secara Etika terdapat beberapa prinsip sebagai berikut:

  1. Prinsip beneficience: prinsip yang menjadikan keuntungan upaya pemulihan kesehatan dan fungsi organ yang bertujuan untuk meringankan kesakitan dan penderitaan pasen.
  2. Prinsip non maleficience (do no harm): prinsip yang mencegah tindakan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang menyebabkan kesakitan pada pasen. Ini berlaku jika hasil akhir RJP memberikan kesakitan lebih lanjut berupa status vegetative atau koma persisten.
  3. Prinsip otonomi: pasen dewasa mempunyai hak otonomi menyetujui atau menolak tindakan medis termasuk RJP. Pasen harus dinilai kapasitas dan kecakapannya didampingi keluarga dan diberikan penjelasan atau informed consent untuk memutuskan tindakan DNR.
  4. Prinsip keadilan: menjamin semua pasen yang mengalami henti nafas dan jantung harus mendapat RJP

Aspek hukum di Indonesia

Belum ada peraturan yang secara jelas mengatur DNR di Indonesia. UUD 1945 pasal 28 A, Undang undang no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 39, KODEKI pasal 17 belum jelas adanya kepastian hukum yang mengatur DNR. Bahkan DNR dapat dianggap sebagai bagian upaya Euthanasia, dapat di duga perbuatan melanggar hukum dan dikenakan KUHP pasal 344 BAB XIX tentang kejahatan terhadap nyawa.

Karena itu perlu pertimbangan yang sangat matang atas keadaan kondisi pasen, kualitas hidup dan keputusan pasien dan keluarga untuk meminta DNR.

Tindakan penghentian bantuan hidup di Indonesia belum banyak dilakukan. Ada dua pilihan yang dapat dilakukan oleh dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup, yaitu with holding atau with drawing life supports, yaitu penundaan atau penghentian alat bantuan hidup.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 1990 mengeluarkan pernyataan bahwa manusia dinyatakan mati apabila batang otaknya tidak berfungsi lagi. Maka apabila telah dinyatakan mati batang otak diperlukan informed consent kepada pihak keluarga untuk memutuskan. Inilah yang akan menjadi dasar dokter melakukan prosedur yang telah diputuskan keluarga. Pihak dokterpun akan berkonsultasi kepada sumber-sumber berwenang seperti KODEKI, para pemuka agama dan tokoh etika lainnya.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 tahun 2008 tentang BAB IX pasal 14:

  1. Bahwa penghentian/penundaan bantuan hidup (with holding atau with drawing life supports) pada seorang pasen harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasen
  2. Persetujuan penghentian/ penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan.
  3. Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus diberikan secara tertulis.

Menurut Agama Katolik

Menurut Alkitab Perjanjian Lama, dalam Kitab Kejadian (kisah penciptaan) manusia adalah ciptaan Allah yang paling mulia. Dengan demikian kehidupannya harus diperjuangkan karean sangat berharga.

Piagam bagi pelayanan kesehatan

Hidup tidak dapat diganggu gugat atau disingkirkan. Hidup kita sendiri atau sesama sebagai sesuatu yang bukan miliknya sebab itu milik dan kurnia Allah Sang Pencipta dan Bapa. Hak mendasar dan primer tiap manusia adalah hak atas hidup.

Kedaulatan Allah dan Hak atas Hidup. 

Kedaulatan Allah atas hidup merupakan dasar dan jaminan bagi hak atas hidup tetapi hak itu bukan kekuasaan atas hidup. Melainkan hak untuk hidup sesuai dengan martabat manusia.

“Tak seorang pun dapat semaunya sendiri memilih mau hidup atau mati. Yang mutlak berdaulat atas keputusan itu hanyalah Sang Pencipta, sebab dalam Dialah kita hidup dan bergerak dan berada “ (Kis 17:28)

Hak atas hidup di konkretkan pada orang yang menderita sakit terminal sebagai “ hak untuk meninggal dalam keheningan sempurna, sesuai dengan martabat manusia dan Kristiani”

Bercermin pada semangat Gereja tentang Pedoman Etis Pastoral Rumah Sakit Katolik sebagai penyayang kehidupan dan sikap Gereja yang memberikan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia itu demikian luhur. Rumah Sakit Katolik menghormati dan melindungi hidup manusia dengan martabat sebagai pribadi maka dengan sengaja mengakhiri hidup pasien, meskipun diminta pasien atau keluarganya ataupun berlandaskan kasihan maka telah bertentangan dengan etika kedokteran dan ajaran moral katolik.

Akhirnya, isu Do Not Resuscitate adalah isu yang sangat dilematis dan multi dimensi. Perlu diskusi yang lebih luas dengan menghadirkan tokoh/ ahli agama, ahli Bioetika, ahli hukum, pejabat berwenang dan profesionalisme membahas Do Not Resuscitate ini.

Dirangkum dari berbagai sumber

+++

http://kdkkb.id

Dokter dan Sang Kupu – Kupu

KDKKB.id – Dear Doctors, Di antara para anggota KDKKB, terdapat beberapa teman sejawatyang juga penulis …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *